Sabtu, 13 Juni 2015

Kepribadian Pak A.R Fakhrudin

Assalamu'alaikum ..

kali ini kita akan membahas salah satu pemimpin Muhammadiyah yaitu pak A.R Fakhrudin atau Abdul Rozak Fakhrudin


Kepribadian A.R Fakhrudin
Pak AR demikian nama panggilan akrab Kiai Haji Abdur Rozak Fachruddin, adalah pemegang rekor paling lama memimpin Muhammadiyah, yaitu selama 22 tahun (1968-1990). Pak AR lahir 14 Februari 1916 di Cilangkap, Purwanggan, Pakualaman, Yogyakarta. Ayahnya, K.H. Fachruddin adalah seorang Lurah Naib atau Penghulu di Puro Pakualaman yang diangkat oleh kakek Sri Paduka Paku Alam VIII, berasal dari Bleberan, Brosot, Galur, Kulonprogo. Sementara ibunya adalah Maimunah binti K.H. Idris, Pakualaman.
Melihat sosok Pak AR, akan didapatkan sebuah cermin, bahwa seorang pemimpin perlu menghayati bagaimana kehidupan ummat secara riil. Bagaimana derita dan nestapa ummat di tingkat bawah, bagaimana pahit getir berdakwah dan menggerakkan organisasi di tingkat Ranting yang jauh dari kota, yang serba kekurangan prasarana dan sarana. Susah payah, kesulitan-kesulitan, dan suka duka yang dialami seorang pemimpin yang bekerja di tingkat Ranting dan Cabang dapat memberi pengalaman yang berharga dan menjadikan seorang pemimpin menjadi arif dalam mengambil kebijakan dalam memimpin umat.
Ada kisah menarik dalam diri AR Fachruddin, yakni sampai akhir hayatnya, sang Kyai ini tak punya rumah. Memang, AR Facruddin pernah berusaha membeli rumah dengan cara mencicil, tetapi oleh pengembang, uang cicilan itu dibawa lari. Uang lenyap, rumah tak dimiliki. Tetapi, AR Fachruddin tidak marah dan larut dalam kesedihan. Kepada sang Istri sang Kyai berujar : "Sudahlah tak usah dipikirkan kehilangan rumah, nanti akan diganti rumah yang lebih baik di surga." AR Fachruddin benar-benar Kyai yang mencoba meneladani nabi Muhammad, menjadi pribadi yang sabar dan qona’ah, tidak serakah dan gila dunia.


Di samping itu, AR Fachruddin juga pribadi yang egaliter. Suatu hari, AR Fachruddin naik becak untuk suatu urusan kemuhamadiyahan. Tiba-tiba di jalan, becak yang beliau naiki dicegat seorang pedagang kaki lima (PKL). Sang pedagang mencegat hanya ingin bertanya tentang hukum jual-beli menurut syariat Islam. Selama kurang-lebih setengah jam, AR Fachruddin melayani sang PKL itu, menjawab berbagai pertanyaan dengan sabar. Tak ada rasa canggung, meskipun dia adalah seorang kyai yang memimpin salah-satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Selain dikenal sebagai seorang mubaligh yang sejuk, ia juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Karya tulisnya banyak dibukukan untuk dijadikan pedoman. Di antara karya-karyanya ialah Naskah Kesyukuran; Naskah Enthengan, Serat Kawruh Islam Kawedar; Upaya Mewujudkan Muhammadiyah sebagai Gerakan Amal; Pemikiran dan Dakwah Islam; Syahadatain Kawedar; Tanya Jawab Entheng-Enthengan; Muhammadiyah adalah Organisasi Dakwah Islamiyah; Al-Islam Bagian Pertama; Menuju Muhammadiyah; Sekaten dan Tuntunan Sholat Basa Jawi; Kembali kepada Al-Qur‘an dan Hadis; Chutbah Nikah dan Terjemahannya; Pilihlah Pimpinan Muhammadiyah yang Tepat dan lain-lain.
Semasa hidupnya Pak AR memberi contoh hidup welas asih dalam ber-Muhammadiyah. Sikap hidup beliau yang teduh, sejuk, ramah, menyapa siapa saja, sering humor, dan bersahaja, adalah pantulan dari mutiara terpendam dalam nuraninya. Pak AR adalah penyebar rasa kasih sayang dalam kehidupan ber-Muhammadiyah, baik dengan sesama Muslim, bahkan juga non Muslim dalam persaudaraan kemanusiaan yang luhur. Beliau tidak pernah menyebarkan sikap dan suasana saling membenci, curiga, iri hati, saling ingin menapikan, apalagi suka menebar aib sesama dalam kehidupan ber-Muhammadiyah.



Ulama kharismatik ini tidak bersedia dipilih kembali menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muham­madiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta, walaupun masih banyak Muktamirin yang mengharapkannya. Ia berharap ada alih generasi yang sehat dalam Muhammadiyah. Setalah tidak menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah, dan menjabat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah, Pak AR masih aktif melaksanakan kegiatan tabligh ke berbagai tempat. Hingga akhirnya, penyakit vertigo memaksanya harus beristirahat, sesekali di rumah sakit. Namun, dalam keadaan demikian, sepertinya beliau tidak mau berhenti. Pak AR wafat pada 17 Maret 1995 di Rumah Sakit Islam Jakarta pada usia 79 tahun.

Mata Kuliah : Pengembangan Pembelajaran PKn di SD
Dosen : Dirgantara Wicaksono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar